Kamis, 25 Juni 2015

MAKALAH KECERDASAN



BAB I
PENDAHULUAN

A.       Latar Belakang Masalah
Kecerdasan sering dipahami oleh masyarakat sebagai kemampuan seseorang dalam proses berfikir. Proses berfikir disini dilakukan untuk memperoleh pengetahuan yang lebih dalam. Pengetahuan yang diperoleh akan menjadi landasan mencapai kesuksesan. Banyak yang menganggap bahwa orang cerdas dalam intelektual akan sukses. Namun, kesuksesan seseorang tidak hanya ditentukan dari kecerdasan intelektual saja, melainkan adanya dukungan dari kecerdasan lain. Kecerdasan tersebut adalah kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual. Ketiga kecerdasan ini terdapat didalam diri setiap individu, dan akan berkembang jika dapat mengasahnya dengan baik. Dalam prakteknya, ketiga kecerdasan ini memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing.
Berdasarkan pengetahuan yang penulis peroleh, kecerdasan tertinggi sebagai puncak kecerdasan adalah kecerdasan spiritual. Seseorang yang memiliki kecerdasan spiritual tinggi, akan mampu merealisasikan kemampuan yang dimiliki sesuai dengan norma susila. Maka dari itu, untuk mengetahui lebih dalam bagaimanakah pengertian masing-masing kecerdasan tersebut, akan dibahas dalam makalah ini.

B.       Batasan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, batasan masalah yang dapat penulis tuliskan adalah menjelaskan teori-teori kecerdasan yaitu kecerdasan emosional, kecerdasan intelektual dan kecerdasan spiritual.

C.       Rumusan Masalah
Berdasarkan batasan masalah diatas, rumusan masalah pada makalah ini adalah bagaimana pengertian dari teori kecerdasan emosional, kecerdasan intelektual dan kecerdasan spiritual?

D.       Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah menjelaskan tentang teori kecerdasan yang terdiri dari kecerdasan emosional , kecerdasan intelektual dan kecerdasan spiritual.

E.       Manfaat
Manfaat dalam penulisan makalah ini memuat dua manfaat yaitu:
1.      Manfaat teoritis
Manfaat teoritis dari penulisan makalah ini adalah mengetahui pengertian secara mendalam tentang teori –teori kecerdasan yaitu kecerdasan emosional, kecerdasan intelektual dan kecerdasan spiritual.
2.      Manfaat praktis
Manfaat praktis dari penulisan makalah ini adalah sebagai sumber pembelajaran bagi rekan-rekan mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Agama Buddha Jinarakkhita.



                                                                         BAB II
PEMBAHASAN

A.      Inteligensi
1.      Pengertian Inteligensi Menurut Para Ahli
Inteligensi merupakan salah satu milik kita yang paling berharga. Namun orang yang paling cerdas sekalipun tidak sepakat mengenai pengertian inteligensi. Karena inteligensi tidak dapat diukur secara langsung seperti tinggi dan berat badan seseorang. Pengertian inteligensi banyak dikemukakan oleh para ahli. Banyak para ahli mengemukakan pendapat yang berbeda-beda. Beberapa ahli mendeskripsikan inteligensi sebagai keahlian memecahkan masalah (Problem solving). Ada pula yang mendeskripsikan sebagai kemampuan beradaptasi dan belajar dari pengalaman hidup sehari-hari.
Menurut John. W. Santrock (2010) inteligensi adalah keahlian memecahkan masalah dan kemampuan untuk beradaptasi pada pengalaman hidup serta belajar dari pengalaman hidup sehari-hari.
Menurut Super & Cities pengertian inteligensi dikatakan bahwa “Inteligence has frequently been defined as the ability to adjust to the environment or to learn from experience” (Super & Cities, 1962:182 dalam Dalyono,2010). Artinya inteligensi adalah kemampuan menyesuaikan diri dengan lingkungan atau belajar dari pengalaman.
Selain itu, pendapat lain tentang pengertian inteligensi dikemukakan oleh Heidentich (Heidentich dalam Haryu Islamudin, 2012:250) yaitu “Intelligence refers to the ability to learn and to utilize what has been learned in adjusting to unfamiliat situation, or in the solving of problems” Artinya adalah kecerdasan menyangkut kemampuan untuk belajar dan menggunakan apa yang telah dipelajari dalam usaha penyesuaian terhadap situasi-situasi yang kurang dikenal, atau dalam pemecahan masalah-masalah.
Berdasarkan pengertian diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa inteligensi mengandung pengertian sebagai upaya pengalaman belajar yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari serta kemampuan memecahkan sebuah permasalah yang dialami. Permasalahan- permasalahan tersebut berasal dari dalam diri individu,  permasalahan sosial, permasalahan akademik kultural, serta permasalahan ekonomi keluarga.
2.       Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Inteligensi Seseorang
Haryu Islamudin dalam bukunya yang berjudul Psikologi Pendidikan (2012:254-255) mengatakan inteligensi seseorang pasti berbeda. Perbedaan itu tejadi karena adanya faktor-faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:
a.       Pembawaan
Pembawaan ditentukan oleh sifat-sifat yang telah ada sejak lahir. Misalnya, dalam sebuah kelas, seorang guru memberikan materi yang sama, namun tidak menuntut kemungkinan semua siswa dapat menerima dengan kapasitas yang sama. Hal demikian terjadi karena kemampuan peserta didik yang berbeda yaitu memiliki kecerdasan yang baik dan tidak memiliki kecerdasan yang kurang baik.
b.      Kematangan
Kematangan yang dimaksud disini adalah kematangan organ tubuh dari hasil pertumbuhan dan perkembangan. Kematangan itu dapat disebut sebagai kesanggupan organ tubuh dalam menjalankan fungsinya masing-masing.  Misalnya, seorang siswa menerima soal namun tidak dapat mengerjakan dengan baik, dan merasa sukar karena soal tersebut masih sangat sukar baginya. Hal demikian terjadi karena, kapasitas soal yang diterima belum sesuai dengan usia anak didik.
c.       Pembentukan
Pembentukan dapat diartikan sebagai segala keadaan diluar diri seseorang yang mempengaruhi perkembangan inteligensi. Pembentukan itu dapat dilakukan dengan sengaja (belajar disekolah) dan pembentukan tidak sengaja (pengaruh alam sekitar).
d.      Minat dan pembawaan yang khas
Minat mengarahkan perbuatan manusia kepada tujuan yang hendak dicapai. Dalam diri manusia terdapat dorongan –dorongan yang mendorong manusia untuk berinteraksi dengan dunia luar. Dari dorongan untuk berinteraksi dengan  dunia luar itu, timbulah minat terhadap sesuatu. Segala yang ia minati akan mendorongnya untuk melakukan lebih giat dan lebih baik lagi.
e.       Kebebasan
Kebebasan berarti manusia dapat memilih metode-metode yang hendak digunakan dalam memecahkan masalah. Manusia bebas memilih metode, juga bebas memilih masalah sesuai kebutuhannya. Dengan adanya kebebasan ini berarti minat itu tidak selamanya menjadi syarat dalam perbuatan inteligensi.
Semua faktor tersebut saling berhubungan satu sama lain. Untuk menentukan inteligensi atau tindakan seorang anak, kita tidak dapat hanya melihat satu faktor. Inteligensi adalah faktor total. Keseluruhan peribadi turut serta menentukan dalam perbuatan inteligensi seseorang.
Faktor-faktor tersebut menentukan perbedaan inteligensi seseorang. Inteligensi ini bukan hanya kecerdasan intelektual semata, namun semua kecerdasan-kecerdasan yang lain yang ada dalam diri setiap manusia. Kecerdasan-kecerdasan tersebut adalah kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual. Kecerdasan ini pula memiliki berbagai kelebihan dan saling menunjang satu sama lain. Untuk itu, perlu mengetahui lebih jelas bagaimana kecerdasan-kecerdasan tersebut yang sebenarnya.

B.       Pengertian Macam-Macam Kecerdasan
1.    Pengertian Kecerdasan Emosional (Emotional Quotient /EQ).
Pada tahun 1948, peneliti Amerika R.W. Leeper memperkenalkan gagasan tentang “pemikiran emosional”, yang diyakininya sebagai bagian dari pemikiran logis. Akan tetapi, hanya sebagian kecil psikolog atau pendidik yang melanjutkan pemikiran ini sampai 30 tahun. Kemudian pada tahun 1989, Howard Gardner dari Universitas Harvard menulis tentang kemungkinan adanya kecerdasan yang bermacam-macam, termasuk yang disebutkannya kemampuan dalam tubuh adalah kemampuan melakukan introspeksi dan kecerdasan pribadi. Selain itu, kecerdasan emosional banyak didefinisikan oleh para ahli yang berbeda-beda.
Menurut Peter Salovy dan John Mayer (1990) dalam John W. Santrock (2010:146) kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk memonitor perasaan diri sendiri dan perasaan serta emosi orang lain, kemampuan untuk membedakannya, dan kemampuan untuk menggunakan informasi ini untuk memandu pemikiran dan tindakan dirinya.
Konsep kecerdasan emosional menurut Daniel Goleman dengan hasil riset terbaru itu cukup lebih memberikan kesimpulan mengapa orang ber-IQ tinggi gagal dan orang ber-IQ rendah justru menjadi sukses. Goleman percaya bahwa untuk memprediksi kompetensi seseorang, IQ seperti yang diukur dengan tes kecerdasan ternyata tidak lebih penting dari kecerdasan emosional. Dengan hal demikian Daniel Goleman mempopulerkan kecerdasan lain yang menjadikan orang sukses tanpa IQ tinggi yaitu “Kecerdasan Emosional” (EQ).
Daniel Goleman memberikan fakta nyata terhadap kecerdasan IQ yang tinggi namun tidak adanya kecerdasan emosional. Contoh kasus tersebut adalah sebagai berikut:
Alasan sesungguhnya mengapa David Pologruto, seorang guru fisika sekolah menengah, ditusuk dengan sebilah pisau dapur oleh seorang siswa terpandai dikelasnya masih diperdebatkan. Tetapi, fakta-fakta yang dilaporkan umumnya sebagai berikut:
Jason H, siswa kelas dua yang nilainya selalu A di SMU Coral Spings, Florida, bercita-cita masuk fakultas kedokteran. Bukan sekedar fakultas kedokteran, bahkan ia memimpikan Harvard, tetapi, Pologruto, guru fisikanya memberi Jason nilai 80 pada sebuah tes. Karena yakin bahwa nilai B menghalangi cita-citanya, Jason membawa sebilah pisau dapur kesekolah, dan dalam suatu pertengkaran dengan gurunya dilaratorium fisika, ia menusuk gurunya ditulang selangka sebelum dapat ditangkap dengan susah payah.
Hakim memutuskan Jason tidak bersalah, karena pada saat itu, ia dianggap gila untuk sementara selama peristiwa tersebut. Sebuah panel terdiri dari empat psikolog dan pesikiater bersumpah bahwa ia gila selama perkelahian itu. Jason mengatakan ia telah berencana untuk bunuh diri, karena nilai tes tersebut, dan pergi menemui Pologruto untuk mengatakan kepadanya karena nilainya yang buruk itu. Pologruuto menyampaikan cerita yang berbeda: “saya rasa ia betul-betul mencoba membunuh saya dengan pisau itu karena ia sangat marah atas nilai tersebut”.
Setelah pindah kesebuah sekolah swasta, Jason lulus dua tahun kemudian sebagai juara kelas. Nilai sempurna dari kelas reguler akan memberinya angka A bulat, rata-rata 4.0. Tetapi karena Jason telah mengikuti banyak kursus lanjutan, nilai rata-ratanya menjadi 4,614 jauh diatas A+. Meskipun Jason lulus dengan nilai terbaik, guru fisikanya yang lama, David Pologruto, mengeluh karena Jason tidak pernah meminta maaf atau mau bertanggung jawab atas serangan tersebut. (Sukidi, 2004:40)
                                                                                 
Berdasarkan cerita tersebut, telah jelas bahwa orang yang memiliki tingkat intelektual tinggi, belum tentu memiliki nilai spiritual yang baik, hingga melakukan tindakan yang tidak rasional. Banyak orang mengatakan dengan tingkat kecerdasan yang tinggi akan menjadi orang yang sukses, dan yang memiliki IQ sedang akan hidup dalam kesusahan. Tetapi, menurut Goleman tidak demikian.
Goleman menyimpulkan bahwa setinggi-tingginya IQ manusia hanya menyumbangkan 20 persen dari faktor-faktor yang menentukan kesuksesan seseorang, sementara 80 persen diisi dengan kecerdasan-kecerdasan lain. Seperti yang dikatakan oleh Dr. Henry R. Meyer dalam bukunya yang berjudul Emotional Intelligence (Meyer:28) bahwa “Orang dengan IQ semata, tanpa kecerdasan emosional, adalah miskin. Bila seseorang sedang memanejemeni, bercinta, mengasuh atau mengawasi, kecerdasan emosional memberikan kepadanya ketajaman kompetitif.” Hal tersebut tentu jelas bahwa hanya memiliki kecerdasan intelektual saja yang tinggi, tanpa ada kecerdasan emosional akan mengubah segala hal yang baik menjadi buruk.
Kecerdasan emosional menyatukan emosi dan kecerdasan. Seorang anak yang memiliki kecerdasan intelektual yang tinggi, namun emosionalnya tidak terjaga, mereka akan menggunakan akal buruk kedalam hal-hal yang negatif. Contoh kasus, ketika mereka memiliki teman akrab namun ia tidak dapat mengendalikan emosional ketika bergaul, ia bisa saja melakukan tindakan yang merugikan, ia membolos, mengikuti gaya hidup anak sekarang yang tidak patut dilakukan. Untuk itu, kecerdasan emosional amat penting bagi anak didik. Dengan mereka memiliki kecerdasan emosional yang  baik, maka mereka akan dapat menjaga perasaannya dengan berpikir baik, sehingga dapat memilah baik buruknya segala sesuatu.
Selain Goleman mengutarakan pengertian kecerdasan, kemudian Goleman mengemukakan dari kutipan Salovey yang menempatkan kecerdasan pribadi Gardner dalam definisi dasar tentang kecerdasan emosional, terdapat lima unsur kemampuan utama yang membangun kecerdasan emosi. Kelima unsur tersebut adalah sebagai berikut:
a.         Mengenali emosi diri (Knowing one’s emotions self awarenes)
Kemampuan ini merupakan dasar dari kecerdasan emosional, para ahli psikologi menyebutkan kesadaran diri sebagai metamood, yakni kesadaran seseorang akan emosinya sendiri. Mengenali emosi diri sendiri merupakan suatu kemampuan untuk mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi. Selain itu, dengan mengenali emosi diri sendiri akan memiliki tolak ukur yang realistis atas kemampuan diri dan kepercayaan diri yang kuat. Kesadaran diri memungkinkan pikiran rasional memberikan informasi penting untuk menyingkirkan suasana hati yang tidak menyenangkan.
Menurut Mayer kesadaran diri adalah waspada terhadap suasana hati maupun pikiran tentang suasana hati, bila kurang waspada maka individu menjadi mudah larut dalam aliran emosi dan dikuasai oleh emosi. Kesadaran diri memang belum menjamin penguasaan emosi, namun merupakan salah satu prasyarat penting untuk mengendalikan emosi sehingga individu mudah menguasai emosi.
b.        Mengelola emosi (Managing Emotion)
Mengelola emosi merupakan kemampuan individu dalam menangani perasaan agar dapat terungkap dengan tepat atau selaras, sehingga tercapai keseimbangan dalam diri individu. Selain itu, mengelola emosi dapat diartikan sebagai upaya menangani emosi sendiri agar berdampak positif bagi pelaksanaan tugas, peka terhadap kata hati dan sanggup menunda kenikmatan sebelum tercapai suatu tujuan, serta mampu menetralisir tekanan emosi.
Pengendalian emosi tidak hanya berarti meredam rasa tertekan atau menahan gejolak emosi, melainkan memahami suatu emosi yang dirasakan, termasuk emosi  yang tidak menyenangkan. Menjaga agar emosi yang merisaukan tetap terkendali merupakan kunci menuju kesejahteraan emosi.
c.         Memotivasi diri sendiri (Motivating oneself)
Motivasi merupakan suatu usaha diri untuk merubah hal yang baru menjadi tindakan positif untuk mencapai suatu tujuan nyata dan cita-cita. Peran memotivasi diri yang terdiri atas antusiasme dan keyakinan pada diri seseorang akan sangat produktif dan efektif dalam segala aktivitasnya.
d.        Mengenali emosi orang lain (Regornizing Emotions In Other)
Kemampuan untuk mengenali emosi orang lain disebut juga empati. Artinya mampu merasakan apa yang dirasakan orang lain, mampu memahami perspektif mereka, menumbuhkan hubungan saling percaya dan menyelaraskan diri dengan orang banyak atau masyarakat.  Empati dibangun berdasarkan kesadaran diri. Semakin terbuka kita kepada emosi diri sendiri, maka semakin terampil kita membaca perasaan orang lain.
Emosi jarang diungkapkan melalui kata-kata, melainkan lebih sering diungkapkan melalui pesan nonverbal, seperti melalui suara, ekspresi wajah, gerak –gerik dan sebagainya. Kemampuan mengindra, memahami dan membaca perasaan atau emosi orang lain melalui pesan-pesan non verbal ini merupakan intisari dari empati.
e.         Membina hubungan (Handling Relationships)
Kemampuan mengendalikan dan menangani emosi dengan baik ketika berhubungan dengan orang lain, cermat membaca situasi dan jaringan sosial serta bertindak bijaksana dalam membina hubungan antar manusia. Kemampuan sosial ini memungkinkan seseorang membentuk hubungan, untuk menggerakkan dan membina kedekatan hubungan, meyakinkan serta mempengaruhi untuk membuat orang lain merasa nyaman. Kemampuan sosial ini dapat diartikan sebagai kemampuan berkomunikasi dengan lingkungan.
Keterampilan dalam berkomunikasi merupakan kemampuan dasar dalam keberhasilan membina hubungan. Individu sulit untuk mendapatkan apa yang diinginkannya dan sulit juga memahami keinginan serta kemauan orang lain. Orang-orang yang hebat dalam keterampilan membina hubungan ini akan sukses dalam bidang apapun. Orang berhasil dalam pergaulan karena mampu berkomunikasi dengan lancar pada orang lain.
2.         Pengertian Kecerdasan Intelektual (Intelligence Quotient /IQ).
Kecerdasan intelektual merupakan kecerdasan yang dimiliki seseorang dalam belajar. Kecerdasan intelektual sering disebut sebagai kecerdasan yang mengacu terhadap kemampuan kognitif seseorang, yaitu kemampuan berpikir yang tinggi dalam usaha meningkatkan kemampuan yang dimiliki. Seseorang yang memiliki kemampuan analitis tinggi cenderung lebih disukai dalam sekolah umum. Mereka sering kali mudah menyerap palajaran dimana guru memberi palajaran dan murid diberi ujian. Mereka sering dianggap sebagai murid “pintar” yang memperoleh ranking bagus, nilainya selalu bagus, dan mudah masuk ke Universitas.
Murid yang memiliki inteligensi kreatif tinggi biasanya bukan ranking atas dalam kelas. Strenberg mengatakan bahwa murid yang kreatif mungkin tidak dapat menyelesaikan tugas pelajaran sesuai dengan guru. Jawaban mereka mungkin tidak lazim atau tepat, namun jawaban yang aneh sehingga sering disalahkan oleh guru.
Seperti murid dengan inteligensi kreatif tinggi, murid dengan inteligensi praktis sering kali kesulitan memenuhi keinginan sekolah. Namun, murid ini sering berpestasi diluar kelas. Kemungkinan mereka memilik keahlian sosial yang tinggi. Sehingga saat dewasa, mereka terkadang menjadi manager sukses, pengusaha, atau politikus meski catatan prestasi sekolah yang sedang. Dengan pengertian tersebut, kecerdasan analitis yang dimiliki tidak menjamin kesuksesan seseorang.
Kecerdasan intelektual dijelaskan dengan berbagai macam teori. Banyak teori-teori dari berbagai ahli menyebutkan pengertian-pengertian inteligensi yang berbeda. Teori –teori kecerdasan intelektual itu adalah sebagai berikut:
a.    Teori Uni-facktor
Wilhelm Stern memperkenalkan inteligensi dengan sebutan “Uni- factor theory”. Menurut teori ini, inteligensi adalah kemampuan umum. Karena itu, inteligensi bersifat umum. Reaksi terhadap lingkungan dalam menyesuaikan diri mereka dan dalam memecahkan masalah bersifat umum. Kapasitas umum itu dapat timbul akibat pertumbuhan biologis atau akibat belajar. Kapasitas umum yang ditimbulkan lazim disebut sebagai “G”.
b.    Teori Two-faktors
Seorang ahli matematika bernama Charles Sperman, mengajukan sebuah teori tentang inteligensi. Teori ini dikenal dengan sebutan “Two kind of factors theory”. Artinya dalam teori belajar ini terdapat dua faktor mental terhadap kecerdasan seseorang. Kedua faktor mental itu disebut dengan faktor yang diberi kode “G” dan faktor  yang diberi kode “S”. Faktor “G” mewakili kekuatan mental yang berfungsi dalam setiap tingkah laku mental individu, sedangkan faktor “S” menentukan tindakan-tindakan mental untuk mengatasi permasalahan.
Faktor “G” yang terdapat dalam inteligensi seseorang, memiliki kemampuan atau kapasitas untuk mempelajari berbagai ilmu pengetahuan. Mereka dapat mempelajari bermacam-macam pelajaran seperti matematika, bahasa, sains, dan sebagainya dengan simbol abstrak. Sedangkan mereka yang  inteligensinya terdapat faktor “S” yaitu didasarkan pada gagasan. Artinya, fungsi otak tergantung kepada ada dan tidaknya struktur atau koneksi yang tepat bagi situasi atau masalah tertentu. Dengan demikian, luasnya faktor “S” mencerminkan kerja khusus dari otak, bukan karena struktur khusus otak. Faktor “S” lebih tergantung terhadap organisasi neurologist yang berhubungan dengan keamampuan –kemampuan khusus.
c.    Teori Multi-Factors
Teori intelligensi Multi Faktors dikembangkan oleh E.L Thorndike. Menurut teori ini, inteligensi terdiri dari bentuk-bentuk hubungan antara stimulus dan respon. Hubungan neural ini yang dapat mengerahkan tingkah laku individu. Misalnya, ketika seseorang mampu menghafal sebuah materi pembelajaran dengan mudah, menghafal puisi, serta melakukan pekerjaan berarti ia dapat melakukan karena terbentuknya koneksi-koneksi didalam sistem syaraf akibat belajar dan latihan.
d.      Teori Primary-Mental-Abilities
Teori Primary-Mental-Abilities dikemukakan oleh L.L. Thurstone. Menurut teori ini, inteligensi terbagi menjadi tujuh kemampuan primer, yaitu sebagai berikut:
1)   Kemampuan numerikal/matematis
2)   Kemampuan verbal/ berbahasa
3)   Kemampuan abstraksi berupa visualisasi atau berpikir
4)   Kemampuan membuat keputusan, baik induktif maupun deduktif
5)   Kemampuan mengenal dan mengamati
6)   Kemampuan mengingat.
e.    Teori Sampling
Teori Sampling dikemukakan oleh Godfrey H Thomson pada tahun 1916 dan kemudian disempurnakan kembali pada tahun 1935 dan 1948. Menurut teori ini, inteligensi merupakan berbagai kemampuan sampel. Dunia berisikan berbagai bidang pengalaman. Berbagai bidang pengalaman dikuasai oleh pikiran manusia. Masing –masing bidang hanya terkuasai sebagian saja, dan ini mencerminkan kemampuan mental seseorang.

Inteligensi beroperasi dengan terbatas pada sampel dari berbagai kemampuan dan pengalaman dunia nyata. Sebagai gambaran, misalnya sebagian A dan B, atau dapat pula sebagian dari bidang A, B dan C.
3.         Pengertian Kecerdasan Spiritual (Spiritual Quotient / SQ)
Setelah membahas kecerdasan emosional dan kecerdasan intelektual, terdapat kecerdasan yaitu kecerdasan spiritual. Kecerdasan Spiritual disebut juga sebagai Spiritual Quotien (SQ). Spiritual Quotien (SQ) merupakan temuan mutakhir secara ilmiah yang digagas oleh Dahar Zohar dan Ian Marshall masing –masing dari University dan Oxford University. Dalam bukunya yang sangat terkenal SQ: Spiritual Intelligence –The Ultimate Intelligence, Dahar Zohar dan Ian Marshall menjelaskan bahwa kecerdasan spiritual adalah “kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai, yaitu kecerdasan untuk menempatkan prilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain”.
Kecerdasan spiritual melibatkan kemampuan menghidupkan kebenaran yang paling dalam. Kecerdasan spiritual menjadi pengayatan hidup yang sejati. Artinya, mewujudkan hal yang baik, utuh dan bermanusiawi. Orang yang memiliki SQ yang tinggi memiliki ciri-ciri tertentu. Mereka adalah orang fleksibel. Tidak ada orang yang dapat mengubah paradigma yang mereka miliki tanpa fleksibel internal.
Kecerdasan spiritual merupakan salah satu kecerdasan yang menjadi puncak kecerdasan atau menjadi kecerdasan tertinggi. Artinya, kecerdasan spiritual lebih tinggi daripada kecerdasan emosional dan kecerdasan intelektual. Seperti yang dikatakan oleh Zohar dan Marshall bahwa kecerdasan spiritual adalah landasan untuk menjalankan atau memfungsikan IQ dan EQ secara efektif. Terdapat alasan mengapa SQ lebih tinggi daripada EQ dan IQ terlihat dari argumen tentang kecerdasan spiritual. Enam argumen tersebut yaitu, Segi perenial SQ, Mind Body Soul, kesehatan spiritual, kedamaian spiritual, kebahagiaan spiritual dan kearifan spiritual.
Terlihat jelas bahwa kecerdasan spiritual lebih tinggi, dan memfungsikan kecerdasan yang lain. Untuk melahirkan manusia yang memiliki SQ tinggi, dibutuhkan pendidikan yang tidak hanya memperhatikan pengembangan IQ melainkan pengembangan EQ dan SQ sekaligus.

C.      Struktur Kecerdasan
Setelah memilah ketiga kecerdasan yaitu kecerdasan emosional, kecerdasan intelektual dan kecerdasan spiritual, tentunya dari ketiga kecerdasan tersebut memiliki perbedaan yang signifikan. Dengan adanya perbedaan itu, maka adanya pola relasi. Pada intinya ketiga kecerdasan tersebut ada pada diri kita. Kecerdasan emosional mengambil wilayah disekitar emosi diri kita, karena yang lebih mengembangan emosi supaya menjadi cerdas, tidak cenderung marah.
Kecerdasan intelektual berada di wilayah otak (brain) sedangkan kecerdasan spiritual mengambil tempat di dalam jiwa seseorang. Dari sudut pandang model berpikir, cara berpikir model kecerdasan emosional bersifat asosiatif, kecerdasan intelektual cenderung seri, sedangkan kecerdasan spiritual lebih bersifat unitif (menyatukan).
Terlihat dari sudut pandang produk kecerdasan dan kebahagiaan, kecerdasan emosional lebih mengacu pada emosional happiness (kebahagiaan secara insting-emosional), kecerdasan intelektual mengacu pada intellectual happiness (kebahagiaan dan bahkan kepuasan intelektual-material). Sedangkan kecerdasan spiritual akan menghasilkan spiritual happiness (kebahagiaan spiritual).





Paparan atas struktur kecerdasan tersebut di atas dapat diringkas dalam bentuk tabel dibawah ini:
No
Perspektif
JENIS KECERDASAN
EQ
IQ
SQ
1.       
Psikologi modern
Emosi (body)
Otak (mind)
Jiwa (soul)
2.       
Model berpikir
Asosiatif
Seri
Unitif
3.       
Kebahagiaan
Instingtif
Material
Rohaniah
4.       
Produk kecerdasan
Emosional
Rasional
Spiritual
(Sumber: Sukidi : 63)



BAB III
PENUTUP

A.      Simpulan
Inteligensi merupakan kemampuan yang dimiliki oleh seseorang dalam menjalankan kegiatan belajar dan kemampuan mengatasi masalah-masalah. Kecerdasan seseorang dapat dilihat dari beberapa faktor yaitu faktor pembawaan, kematangan, pembentukan, minat dan pembawaan yang khas, dan kebebasan.
Inteligensi bukan hanya kemampuan analitis tinggi atau bersifat kognitif, namun inteligensi terdapat beberapa tiga jenis yaitu emosional inteligensi, intelektual inteligensi dan spiritual inteligensi. Emosional inteligensi diaktifkan oleh emosi, intelektual inteligensi dijalankan oleh nalar atau kognitif seseorang. Sedangkan spiritual inteligensi dijalankan oleh spiritual yang baik dari diri seseorang. Dari ketiga kecerdasan tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing dan saling berhubungan satu sama lain dalam aplikasi di kehidupan dan dunia pendidikan.
Memiliki kecerdasan intelektual tinggi tanpa adanya kecerdasan emosional akan membawa dampak yang buruk. Selain itu, adanya kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional yang baik tanpa ada kecerdasan spiritual yang baik akan berdampak yang buruk pula. Melihat kondisi tersebut, kecerdasan spiritual sangat penting dalam aplikasinya di kehidupan dan dunia pendidikan.
Terlihat jelas bahwa kecerdasan spiritual dapat memfungsikan kecerdasan yang lain. Untuk dapat memiliki SQ dibutuhkan pendidikan yang tidak hanya memperhatikan pengembangan IQ melainkan pengembangan EQ dan SQ sekaligus.




B.       Saran
Berdasarkan simpulan diatas, penulis memberikan saran kepada para pembaca bahwa kita perlu memiliki kecerdasan intelektual yang tinggi, namun kita perlu memperhatikan kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual kita. Kecerdasan spiritual menjadi landasan dalam mejalankan kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional. Dengan memiliki kecerdasan spiritual yang baik, maka sebagai seorang pelajar akan dapat mengembangkan kecerdasan lainya sesuai dengan sila yang baik.
Rekan-rekan pembaca yang baik, selain dari saran tersebut penulis menyadari dalam penulisan makalah ini terdapat kesalahan dan kekeliruan, untuk itu kritik dan saran sangat penulis harapkan agar dalam pembuatan makalah selanjutnya dapat tersusun menjadi lebih ba


 DAFTAR PUSTAKA


Dalyono.2010. Psikologi Pendidikan. Jakarta:Rineka Cipta.
     Desmita.2006.Psikologi Perkembangan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Goleman,Daniel.2000. Kecerdasan Emosional. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Umum.
Islamudin,Haryu. 2012. Psikologi Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
R.Meyer,Henry.2011.Emotional Intelligence-Cara Humanis Memimpin Bisnis. Bandung: Nuansa.
Santrock, John W. 2010. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Kencana.
     Steven S. Stein, dan Howard E. Book, Ledakan EQ:15 Prinsip Dasar Kecerdasan Emosional    

Sukidi.2004.Rahasia Sukses Hidup Bahagia.Kecerdasan Spiritual. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Umum.

1 komentar: